Minggu, 15 Februari 2015

Yah, saya memang suka menulis cerpen, namun kebanyakan berakhir ngaco dan gak jelas mungkin (walau semoga saja masih ada esensinya XD ). Cerpen-cerpen yang saya postingkan adalah satu, dua yang kebetulan sedikit baik. Yang ketiga ini adalah yang sempat saya kirimkan dan termuat di Radar Banyuwangi 20 Oktober 2013. Sedikit bergenre (atau apalah -_-) kebanyakan cerpen-cerpen di koran, dan memang banyak ide yang terinspirasi setelah membaca beberapa cerpen Kompas dsb. Oke, selamat membaca :)



Penjual Pintu Keliling



            Di tengah terik matahari yang kian memanggang bumi, seorang penjual pintu keliling menarik gerobaknya dengan perlahan-lahan. Gerobaknya yang berwarna coklat tersusun dari potongan kayu-kayu panjang sebagai tempat pintu direbahkan. Di bagian depan ada dua batang kayu kecil tempat penjual pintu mencengkeramkan tangan-tangannya untuk menarik gerobak. Sedang di bagian belakang terdapat papan bertuliskan kalimat singkat “DIJUAL PINTU”.  Kurang lebih lima buah daun pintu diangkutnya. Sekilas seperti menarik sekeping wafer raksasa.
Langkahnya berat seiring dengan peluhnya yang membanjiri. Penjual pintu itu tidak tua tidak juga muda, tapi wajahnya mengkerut-kerut dan kulitnya hitam, sehitam roda kecil di kiri-kanan gerobaknya.
            Orang itu berhenti sejenak, kemudian meminggirkan gerobak di pelataran rumah Pak Rasid. Lalu berjongkok melepas lelah dan memandangi pintunya yang mungkin saja belum laku sama sekali. Pak Rasid mengintipnya dari balik jendela. Melihat tubuh penjual pintu yang ringkih dengan urat-urat yang terapung di kulitnya. Orang itu menoleh dan menyadari Pak Rasid memperhatikannya. Beliau lantas menutup korden segera.
            Pak Rasid terkejut ketika tiba-tiba terdengar salam dari depan rumah.
            “Assalamualaikum,” ternyata penjual pintu itu.
            “Walaikumussalam. Ada apa ?” tanya Pak Rasid sedikit sinis.
            “Mau beli daun pintu, Pak ?”
            “Tidak, semua ruangan di sini sudah ada pintunya,” bohong Pak Rasid. Sebenarnya ada sebuah kamar di bagian belakang yang belum berpintu dan hanya ditutup tirai.
            “Tapi pintu-pintu saya ini istimewa, Pak,” katanya sambil menunjukkan tumpukan pintu yang kecoklatan di gerobaknya, “pintu-pintu saya ini adalah pintu menuju kemakmuran.”
            Pak Rasid mengernyitkan dahi.
            “Jika anda memasang pintu-pintu ini, rejeki akan mengikuti usaha Anda, karena pintu ini juga pintu rejeki,” lanjutnya dengan bangga. Dia kemudian mengangkat salah satu pintunya dan menunjukkan pintu di tumpukan kedua, “jika anda membeli satu pintu, saya akan beri bonus satu pintu lagi.”
            “Maaf, buat apa banyak-banyak pintu.”
            Orang itu hanya tersenyum, seolah sudah tabah menerima tolakan dari bermacam-macam orang. Seperti malaikat saja.
“Kalau begitu terima kasih, Pak,” ujarnya dengan wajah yang berkerut-kerut, kemudian berjalan menarik gerobaknya, bersama pintu-pintunya.
            Minggu depan orang itu datang lagi, masih di hari Sabtu. Mengucapkan salam.
            “Pak, mau beli pintu ?”
            “Tidak. Saya sudah bilang tidak. Kenapa kamu ke sini lagi ?”
            “Namun pintu saya ini lain, Pak. Benar-benar spesial. Pintu saya kali ini merupakan pintu kebahagiaan.”
            Pak Rasid mencibir melihat pintu yang dibawanya jelas adalah pintu yang dibawanya minggu kemarin. Penjual pintu ini ternyata banyak omong, suka membual, pikirnya. Dan penjual pintu sekali lagi mengucapkan terima kasih dengan wajah yang mengkerut, seperti tak pernah disetrika.
            Sabtu depannya orang itu datang kembali. “Pintu saya hari ini merupakan pintu kelapangan. Tak ada duanya.”
Bersabtu-sabtu kemudian penjual pintu datang lagi, dengan lima buah pintu yang sama seolah tak pernah laku. Dan Pak Rosid menolaknya lagi. Dengan wajah yang kucel penjual pintu akan berterima kasih lagi, dan lagi. Begitulah setiap minggu dengan nama pintu yang berbeda-beda, mulai dari pintu keabadian, kejayaan, kebaikan dan entah apa lagi. Membuat Pak Rasid akhirnya kehilangan kesabaran.
“Ah, banyak omong ! Bedebah kamu !”
            “Tapi hari ini pintu saya benar-benar unik. Saya tak pernah bohong. Pintu ini merupakan pintu keberuntungan !” penjual pintu tidak bergeming.
            Tiba-tiba Bu Rasid muncul, mendengar kegaduhan di depan rumah. “Ada apa to Pak ?”
            “Penjual pintu tidak waras ini yang selalu datang setiap Sabtu selepas lohor !”
            “Sudahlah. Beli satu saja, biar dia senang dan tak kesini lagi. Bapak pula sih yang berlebihan. Toh, kamar di belakang itu tidak ada pintunya.”
            Pak Rasid berpikir sejenak, daripada penjual pintu ini membuatku semakin gila.“Berapa yang satu itu ?”
“Khusus untuk Bapak, yang ini lima ratus ribu.”
            “Mahal amat !? Biasanya hanya dua ratus ribuan ? Ini jelas bukan kayu jati !” protesnya sewot ketika memeriksa pintu itu.
            “Sudah saya bilang, Pak Rasid. Ini pintu keberuntungan. Tapi Bapak tidak usah khawatir. Jika Bapak beli satu pintu ini, saya kasih satu pintu lagi, terserah Bapak yang model mana.”
            “Saya tak butuh dua pintu. Kamu beri satu pintu saja, tapi tiga ratus ribu. Itu sudah mahal untuk pintu dari kayu asal-asalan seperti ini.”
            “Tidak bisa, Pak. Saya maunya lima ratus ribu.”
            Sudah dibeli masih ngotot, pikir Pak Rasid. “Ah, terserah. Ini, lima ratus.”
            “Terima kasih Pak Rasid,” penjual itu tampak senang sekali menerima lima lembar uang seratusribuan. Ditaruhnya pintu besar itu di teras. Setelah berterima kasih sekali lagi, orang itu pergi dan menghilang di ujung jalan beraspal. Dalam hati Pak Rosid merasa lega.
***
            Pak Rosid gembira sekali ketika memperoleh mobil baru, hasil undian di bank tempat Bu Rasid menabung. Tak sabar dia menunggu mobil itu dikirim dan tiba di rumahnya. Sambil duduk di teras pikirannya mengawang-awang, barangkali mobilnya datang hari itu juga. Pak Rasid tersenyum-senyum sendiri membayangkan dirinya mengemudikan sebuah mobil mewah dengan parlente.
            “Bagaimana Pak ? Apakah pintu saya sudah mendatangkan keberuntungan ?”
            Pak Rasid terkaget ketika penjual pintu sudah ada di depan rumahnya. Masak ini gara-gara pintunya itu, pikirnya.
            “Karena pintu saya sudah terbukti, sekarang bapak saya tawari pintu satu lagi. Pintu satu ini yang paling khas dari pintu-pintu saya yang lain. Bisa mendatangkan kekayaan, karena ini pintu kekayaan. Harganya 750 ribu,” penjual pintu seperti tahu saja yang dialami Pak Rasid.
            Pak Rasid berpikir. Apa benar? Tapi aku kan baru ketiban mobil, tak apalah jika aku mengorbankan uang tujuhratusribuan demi menjajal omongan tukang pintu ini.
            “Saya mau, saya tawar 600 ribu tapi.”
            “Baiklah, karena Bapak telah menjadi langganan saya bolehlah 600 ribu. Saya taruh di teras bapak.”
            Pak Rasid cemberut sambil menyerahkan uang 600 ribu. Siapa yang jadi langganan, pikirnya. Penjual pintu itu pergi setelah berterima kasih. Dan sorenya Pak Rasid langsung mengganti pintu depan rumahnya dengan pintu yang baru.
Beberapa bulan kemudian, beliau benar-benar senang. Peternakan ayamnya semakin maju. Ayam-ayamnya yang gemuk dan sehat banyak dipesan oleh para pedagang ayam di pasar-pasar. Penghasilannya meningkat drastis. Pak Rasid kini benar-benar yakin dengan omongan si penjual pintu. Dan hari Sabtu ini, Pak Rasid menunggu-nunggu si penjual pintu. Dan ketika orang dengan muka penuh kerutan itu lewat Pak Rasid tanpa ragu membeli satu pintu lagi, bahkan sebelum penjual pintu menawarkannya. Pintu kesuksesan itu harganya mahal, satu juta rupiah. Tapi toh, nanti hasilnya juga bakal berlipat ganda.
Benar, setelah pintu kesuksesan itu menggantikan pintu kayu usang di kamar Pak Rasid, dirinya semakin sukses. Rejekinya semakin mengalir deras bak air terjun. Sehingga Pak Rosid pun kini berani menjual peternakan ayamnya dan mendirikan sebuah usaha baru, yakni dealer motor sebuah merek terkenal. Dealer ini pun ternyata juga laris manis dan memiliki reputasi yang baik di kota. Tanpa ragu beliau akhirnya membeli 2 pintu yang tersisa dari si penjual pintu. Pintu kelancaran dan pintu kemujuran. Harganya masing-masing satu juta lima ratus ribu.
            Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Sepeda motor di dealernya seringkali kehabisan stok akibat kerap diburu pembeli, membuat Pak Rasid menjadi orang kaya baru. Bahkan Pak Rasid hendak sekalian mendirikan dealer mobil di situ. Tapi tiba-tiba hal buruk terjadi. Bulan ini penjualan motor menurun, berikut reputasi dealer. Bulan-bulan kemudian dealernya bangkrut, tak laku lagi. Banyak sepeda motor yang sudah usang menumpuk di dealer akibat tak pernah diburu pelanggan lagi.
Sekarang Pak Rasid yang malang harus mulai menjalani hidup yang penuh keterbatasan. Aneh sekali. Padahal lima buah pintu yang ada di rumahnya sudah diganti dengan pintu-pintu dari si penjual pintu. Seharusnya dia sudah menjadi konglomerat di kota. Pikiran Pak Rasid yang semakin tertekan tertuju pada wajah penjual pintu. Tiba-tiba dia mengumpat-umpat. Mengumpati setiap lekuk kerutan yang membentuk tekstur di wajah penjual pintu. Bedebah dilantunkannya berulang-ulang. Tapi, setelah pintunya habis terjual, penjual pintu tak pernah muncul lagi.
***
            Akhir-akhir ini Pak Rasid sering bersungut-sungut duduk di kursi teras menunggu barangkali penjual pintu lewat. Seperti siang ini. Matanya terbelalak ketika mendengar suara berdecit roda-roda kecil yang menggelinding di atas tanah. Dan tampaklah dari kejauhan, penjual pintu dengan gerobaknya yang sudah terisi kembali dengan setumpuk pintu.
            “Bedebah kamu! Pintu-pintumu itu ternyata palsu! Lihat sekarang, semua usaha saya bangkrut! Harta saya habis! Sekarang kembalikan semua uang yang sudah saya beri ke kamu itu!” kata Pak Rasid tanpa cas-cis-cus lagi ketika penjual pintu tiba di depan rumah.
            “Tunggu-tunggu, pasti ada yang salah Pak Rasid !” belanya.
            “Kemana pula kamu berbulan-bulan ini ? Mau menghindar dari saya ?!”
            “Saya membuat pintu, seperti biasa. Ini pintu-pintu saya. Sangat ajaib tentunya, saya butuh berbulan-bulan membuatnya. Pak Rasid mau beli ?”  jawabnya tak berdosa.
“Kamu masih tawari saya pintu-pintu sialan kamu itu ?”
            “Tenang Pak, saya tahu masalah Bapak. Saya ada solusi. Pak Rasid sekarang harus mengganti semua gagang pintu milik Pak Rasid.”
            Pak Rasid diam. Kata-kata itu seperti sihir sehingga Pak Rasid tiba-tiba mempercayai si muka kusut kembali. Sorenya Pak Rasid mengganti semua gagang pintu (yang sebenarnya masih cukup gres) dengan yang baru dibelinya di toko bangunan milik seorang Cina. Dibelinya gagang yang paling mahal.
Hari-hari yang panas berlalu akan tetapi keadaan tak kunjung membaik. Bahkan hutang semakin menumpuk disana-sini. Maklum, Pak Rasid kini tak punya usaha lagi, termasuk peternakan ayam yang dulu mampu menopang kehidupannya walau dalam kesederhanaan. Dan Beliau semakin murka, rasanya dia selalu kena tipu, seperti yang terakhir kali. Sabtu ini, beliau menunggu lagi decitan roda-roda gerobak penjual pintu.
            “Kamu masih berani-beraninya tipu saya lagi ?” ancam Pak Rasid kepada penjual pintu, bahkan sebelum tiba di rumahnya. Beliau langsung berlari dan melabrak si penjaja pintu begitu batang hidungnya menyembul di ujung jalan. “ Saya sudah ganti semua gagang pintu tapi hasilnya nihil. Malah semakin memburuk !”
            “Wah, masak Pak ?” jawab penjual pintu masih dengan tampangnya yang tak berdosa.
            “Ah, cukup, cukup ! Saya hajar kamu !” Pak Rasid meraih kerah si penjual pintu.
            “Sabar Pak, sabar. Pak Rasid lupa. Masih ada satu lagi gagang pintu yang Pak Rasid belum ganti.”
            Pak Rasid perlahan-lahan mengingat sesuatu, sebuah cerita, kisah seorang nabi muda, nabi yang sebelumnya nyaris disembelih oleh ayahnya sendiri. Dilepaskannya kerah si penjual pintu. Berangsur-angsur marahnya redam. Tenang. Kemudian tercenung.
Dia tak akan mungkin menggantinya.
***

Silakan kritik dan saran.

Sabtu, 14 Februari 2015

Kali ini saya akan memposting salah satu cerpen yang pertama kali saya tulis dan saya ikutsertakan dalam Festival Sastra KMSI UGM 2013 yang (kalau gak salah) bertemakan "Kebanggaan Indonesia", setelah minta edit dan pendapat sana-sini kepada salah satu sahabat dan juga Guru Bahasa Indonesia saya, Alhamdulillah jadilah cerpen saya ini. Oke, silakan membaca :)



Mimpi-Mimpi Sakri



            Benar! Semalam aku bertemu dengan Ibu Pertiwi! seru Sakri.
            Ah, itu cuma mimpimu, Kri! sangkal Wasidi, temannya.
         Bukan, itu bukan mimpi! Ibu selalu datang malam-malam ke sungai kecil di belakang rumahku. Dia akan bercerita banyak hal kepadaku...
            Kamu hanya mengigau pasti... canda Pamannya.
            Begitulah setiap pagi. Sakri, si bocah pencari keong berkulit hitam, akan bercerita kepada setiap orang kampung Karimayan yang ditemuinya. Mulai dari teman sebayanya hingga orang orang tua yang kebetulan ngopi di warung neneknya. Ceritanya selalu sama, mengenai Ibu Pertiwi.
Kampung Karimayan agak terletak di pedalaman hutan rimba. Dikelilingi bukit bukit hijau yang setiap pagi menguning tersapu cahaya matahari. Pohon-pohon beragam jenisnya tumbuh tinggi tersebar di sini. Kemanapun melangkah, jalan setapak selalu tertutupi oleh daun daun pepohonan yang telah gugur. Sangat alami.
Selama ini Sakri hanya diasuh oleh sang Nenek yang membuka warung kopi di depan rumah. Bapaknya pergi merantau entah kemana. Ibunya sudah meninggal sewaktu Sakri masih kecil. Membuatnya terkadang penasaran, membayangkan bagaimana raut wajah bapak dan  ibunya.
 Bersama teman-temannya dia selalu mencari keong di sawah, parit maupun sungai. Kulitnya tampak lebih hitam dibandingkan anak anak lain. Hampir sehitam rambutnya. Barangkali karena sinar matahari begitu kejam membakar kulitnya. Mengingat dia selalu pulang lebih sore demi mengumpulkan keong lebih banyak untuk dijual. Bajunya selalu lusuh, kecoklatan terciprat lumpur setiap hari.
            Meski ceritanya selalu sama setiap pagi, tapi di dalam ceritanya Ibu Pertiwi selalu bercerita hal yang baru setiap malam. Kiranya itulah yang membuat Sakri antusias untuk menceritakannya. Neneknya hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca setiap kali melihat Sakri seperti itu.
 Tadi malam Ibu bercerita tentang kerajaan-kerajaan di zaman dulu. Ada Majapahit, Sriwijaya dan banyak lagi, aku lupa namanya. Kata Ibu, Majapahit adalah kerajaan yang paling besar... cerita Sakri pagi ini di warung kopi.
            Seperti biasa, mereka tidak menghiraukannya sembari menghisap rokok dalam-dalam. Tahu kalau dirinya diacuhkan, ceritanya akan semakin menjadi-jadi.
            Kalian tahu, Ibu juga bilang kalau orang zaman dulu merawat alam mereka dengan baik, tidak seperti zaman sekarang. Zaman sekarang, semua orang sudah tak ingat lagi padanya. Aku kurang paham maksudnya, tapi Ibu sangat sedih ketika menceritakan hal itu. celotehnya polos.
            Orang-orang yang merasa risih terkadang  memilih meninggalkan warung. Jika sudah begitu, Sakri akan pergi ke sawah, mencari keong. Berharap bertemu teman-temannya yang kiranya mau menjadi pendengar setiap celotehannya.
            Ibu selalu berpesan kepadaku. Jika aku sudah besar nanti aku harus menjadi pemimpin negeri ini.
            Apa benar? tanya Wasidi.
            Seperti apa sih Ibu Pertiwi itu? tanya anak yang lain.
            Yang jelas Ibu sangat anggun. Wajahnya seperti bersinar memancarkan kedamaian. Sentuhannya lembut dan hangat. Aku senang sekali ketika Ibu bercerita kepadaku. cerita Sakri bangga.
            Bukannya itu cuma bualan Sakri? Dia mungkin hanya kesepian, Sakri kan tak punya Ibu... seru salah seorang anak kepada yang lain.
            Aku tidak bohong! Ibu mengajariku untuk tidak berbohong.
            Jadi, kau akan menjadi pemimpin bangsa ini begitu? tanya Wasidi.
            Ya. Aku akan menjadi salah satu pemimpin negeri ini saat aku sudah besar nanti! Aku akan menjadi pemimpin yang membanggakan Ibu dan akan membuatnya tidak sedih lagi! janji Sakri dengan semangat.
***
            Sudah 20 tahun sejak Sakri, si penceloteh berkulit hitam, diangkat anak oleh seorang pengusaha dari ibukota. Tentu saja, Sakri harus meninggalkan Nenek beserta kampung halamannya. Disini Sakri mengenal sekolah, hal yang tidak pernah ditemuinya di Karimayan. Orang tua baru Sakri menyekolahkan Sakri hingga ke bangku kuliah. Setelah lulus, Sakri bekerja di sebuah kementrian. Karirnya terus menanjak hingga pemuda ini berhasil menjadi salah satu pimpinan di kementrian itu. Kulitnya kini tak lagi hitam. Kemana-mana dia berteduh di dalam mobil sedan berplat merah.
Tak lupa akan ranahnya, kali ini Sakri berniat mengunjungi kampungnya di seberang. Dia ambil cuti beberapa hari. Setelah menempuh perjalanan selama semalam dia sampai di Karimayan.
Kampungnya tak banyak berubah. Dinding dari anyaman bambu dan atap rumbia masih setia menyusun rumahrumah penduduk. Angin dingin yang mengalir perlahan masih melekat dalam ingatannya. Bukitbukit yang curam pun masih tegak berdiri membentengi kampung Karimayan dari segala penjuru.
            Tiga hari sudah. Pagi ini Sakri terlihat mengopi di sebuah warung yang agak ramai di muka perkampungan. Wasidi juga di situ. Dia senang dapat bertemu kawan lamanya kembali. Selama tiga hari ini pula dialah yang selalu menemani Sakri. Tapi tak seperti kemarin-kemarin. Sakri terlihat memijat keningnya beberapa kali sambil memejamkan mata. Kopinya sudah dingin, enggan untuk diminum.
            Dua malam yang lalu aku bertemu dengan Ibu... katanya sambil menghela nafas. Orang orang tak terkejut Sakri masih saja bercerita seperti dulu. Tapi, kali ini mereka mendengarkannya. Tentu saja untuk menghormati Sakri.
            Matanya sembab. Entah kenapa. Dia diam, tak menjawab sapaanku. Aku berniat memberitahunya kalau aku sekarang sudah menjadi salah seorang pemimpin negeri ini. Tapi, aku lihat dia malah berurai air mata. ceritanya sedih.
            Aku tak tahu harus berbuat apa. Seakan akulah orang yang membuatnya sedih. Ingin rasanya aku cepat cepat pergi. Meninggalkan dirinya di sana sendirian. Aku tahu, dia menatapku saat aku berbalik. Dia sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
Wajah Ibu yang sedih selalu membayang dibenakku. Akhirnya semalam aku mencoba menemuinya lagi. Tapi dia tak kunjung datang, walaupun aku menunggunya hingga fajar. Mata Sakri mengawang-awang.
Orang orang hanya diam.
***
Langkahnya pelan. Samarsamar dilihatnya bayangan seorang perempuan yang bercahaya di tepi sungai. Dimantapkannya langkah kaki untuk menghampirinya. Berharap kali ini Ibu mau bercerita kecil demi membuat hatinya lega. Tapi seketika bayangan itu memudar dan cahayanya lenyap.
Tiba-tiba sebuah kata begitu saja menggema di dalam kepalanya. Tak jelas kedengarannya. Suara itu begitu halus tapi seperti sarat makna. Lembut berwibawa. Dari manakah suara itu berasal? Tak dipikirkannya suara itu ketika kembali melihat cahaya yang berkilauan di seberang sungai. Sakri yakin kalau sang Ibu mempunyai maksud yang hendak disampaikan.
Tanpa pikir panjang diseberanginya sungai itu, tak peduli dengan celana panjang yang lupa dicincingkannya. Dilangkahinya batu-batu dan cadas di dasar sungai. Setengah berlari. Sesekali tubuhnya limbung tak kuat menahan arus air yang semakin deras di tengah sungai. Bulan ini musim panas, jadi air sungai tak begitu dalam, hanya sebatas paha.
Dia terlihat kesulitan. Padahal dulu sewaktu kecil dia sering menyeberangi sungai ini sekedar bermain bersama teman temannya. Tiba tiba dia terpeleset. Tidak sengaja menginjak sebuah batu yang licin. Tak sampai jatuh, tapi cukup membuat sebagian besar tubuhnya basah.
Langkahnya ia hentakkan ketika berhasil menyeberangi sungai itu. Tapi cahaya itu telah lenyap kembali. Nafasnya terengah, jantungnya berdebar. Matanya menatap sekitar. Dilihatnya setitik cahaya di puncak bukit, di balik pohon-pohon tinggi yang berbalut kabut. Segera dirinya berlari ke arah sana. Berharap tak kehilangan cahaya itu lagi. Malam ini adalah kesempatan terakhirnya. Besok dia sudah harus kembali ke ibukota.
Sakri dengan susah payah menaiki bukit yang curam. Tak dipedulikan ranting- ranting yang menghalangi jalannya. Duri-duri beberapa kali menggores tubuhnya. Kabut yang putih semakin tebal, udara dingin. Dia memperlambat larinya. Lebih berhati hati, karena jarak pandangnya semakin terbatas. Menarik nafas, udara mulai menipis sepertinya.
Kenapa kau mengecewakan Ibu? Suara itu kembali terngiang begitu saja di kepalanya. Dari mana suara ini berasal? Ia yakin bukan dari sekelilingnya. Bukan telinganya yang menangkapnya, tapi batinnya! Suara itu datar namun terdengar sedih. Apakah maksud semua ini, pikirnya.
Angin yang dingin tibatiba menerpa tubuhnya yang sebagian basah kuyup. Semakin membeku. Kabut perlahanlahan memudar. Pandangannya semakin jelas. Tapi tampaknya dia kehilangan cahaya itu lagi.
Sakri menemukan sesuatu yang ganjil. Tidak seperti saat ia mendaki bukit tadi. Suasana begitu terang, luas, tidak seperti rimbunnya hutan. Kabut akhirnya lenyap sempurna. Dia terkejut. Semuanya habis! Dilihatnya lebih seksama daerah-daerah di sekitar bukit tempatnya berdiri. Juga habis! Bagaimana bisa?
Sakri terjaga dari tidurnya. Jantungnya masih berdegup kencang. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia menatap ke sekitar tempat tidur. Betapa herannya dia menemukan dirinya di sini.
Dia termangu.
***
Inilah Kampung Karimayan sekarang. Timbunan tanah kecoklatan tercecer di sana-sini. Sesekali mencuatkan batang kayu dan dinding bambu yang terbelah. Pohon-pohon terkubur. Sebagian yang masih selamat mulai mengering, hendak mati juga rupanya. Terbentuk sebuah padang luas yang menyayat hati. Mungkin juga kuburan massal.
Para relawan sudah pergi dua minggu yang lalu. Hanya perempuan pencari kayu yang masih sering datang memunguti sisa puing-puing rumah demi menghidupkan tungku. Namun, beberapa hari ini terlihat seorang pemuda selalu duduk termenung di sana. Duduk di tepi sebuah tebing curam yang nampaknya hendak longsor pula.
Sakri. Kini kulitnya menghitam kembali, persis seperti masa kecilnya. Pikirannya kosong. Ia tak lagi ingat kalau sebenarnya dialah penyebab semua ini. Beberapa tahun yang lalu, dia menerima suap dari seorang investor untuk memperoleh izin pembukaan hutan yang sebenarnya dijadikan hutan lindung .
Seekor burung berbulu coklat keemasan dengan gagahnya terbang di atas langit. Pandangannya tajam. Mencari pohon tempatnya bersarang yang sudah roboh mungkin. Atau malah mencari tempat mengadu?
            Hanya menunggu dalam diam. Pikiran Sakri kini hanya satu. Meminta maaf kepada Ibu Pertiwi dan bertanya bagaimana cara menjadi pemimpin kebanggaannya.
***

Alhamdulillah, cerpen ini dapat juara kedua kategori pelajar, meski seperti sebelumnya saya menganggap cerpen ini aneh dan kurang jelas -_-. Oke, silakan kritik dan saran :)