Penjual
Pintu Keliling
Di tengah terik matahari yang kian memanggang bumi,
seorang penjual pintu keliling menarik gerobaknya dengan perlahan-lahan. Gerobaknya
yang berwarna coklat tersusun dari potongan kayu-kayu panjang sebagai tempat
pintu direbahkan. Di bagian depan ada dua batang kayu kecil tempat penjual pintu
mencengkeramkan tangan-tangannya untuk menarik gerobak. Sedang di bagian
belakang terdapat papan bertuliskan kalimat singkat “DIJUAL PINTU”. Kurang lebih lima buah daun pintu diangkutnya.
Sekilas seperti menarik sekeping wafer raksasa.
Langkahnya
berat seiring dengan peluhnya yang membanjiri. Penjual pintu itu tidak tua
tidak juga muda, tapi wajahnya mengkerut-kerut dan kulitnya hitam, sehitam roda
kecil di kiri-kanan gerobaknya.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian meminggirkan gerobak
di pelataran rumah Pak Rasid. Lalu berjongkok melepas lelah dan memandangi
pintunya yang mungkin saja belum laku sama sekali. Pak Rasid mengintipnya dari
balik jendela. Melihat tubuh penjual pintu yang ringkih dengan urat-urat yang
terapung di kulitnya. Orang itu menoleh dan menyadari Pak Rasid
memperhatikannya. Beliau lantas menutup korden segera.
Pak Rasid terkejut ketika tiba-tiba terdengar salam dari
depan rumah.
“Assalamualaikum,” ternyata penjual pintu itu.
“Walaikumussalam. Ada apa ?” tanya Pak Rasid sedikit
sinis.
“Mau beli daun pintu, Pak ?”
“Tidak, semua ruangan di sini sudah ada pintunya,” bohong
Pak Rasid. Sebenarnya ada sebuah kamar di bagian belakang yang belum berpintu
dan hanya ditutup tirai.
“Tapi pintu-pintu saya ini istimewa, Pak,” katanya sambil
menunjukkan tumpukan pintu yang kecoklatan di gerobaknya, “pintu-pintu saya ini
adalah pintu menuju kemakmuran.”
Pak Rasid mengernyitkan dahi.
“Jika anda memasang pintu-pintu ini, rejeki akan
mengikuti usaha Anda, karena pintu ini juga pintu rejeki,” lanjutnya dengan
bangga. Dia kemudian mengangkat salah satu pintunya dan menunjukkan pintu di
tumpukan kedua, “jika anda membeli satu pintu, saya akan beri bonus satu pintu
lagi.”
“Maaf, buat apa banyak-banyak pintu.”
Orang itu hanya tersenyum, seolah sudah tabah menerima
tolakan dari bermacam-macam orang. Seperti malaikat saja.
“Kalau
begitu terima kasih, Pak,” ujarnya dengan wajah yang berkerut-kerut, kemudian
berjalan menarik gerobaknya, bersama pintu-pintunya.
Minggu depan orang itu datang lagi, masih di hari Sabtu.
Mengucapkan salam.
“Pak, mau beli pintu ?”
“Tidak. Saya sudah bilang tidak. Kenapa kamu ke sini lagi
?”
“Namun pintu saya ini lain, Pak. Benar-benar spesial.
Pintu saya kali ini merupakan pintu kebahagiaan.”
Pak Rasid mencibir melihat pintu yang dibawanya jelas
adalah pintu yang dibawanya minggu kemarin. Penjual pintu ini ternyata banyak
omong, suka membual, pikirnya. Dan penjual pintu sekali lagi mengucapkan terima
kasih dengan wajah yang mengkerut, seperti tak pernah disetrika.
Sabtu depannya orang itu datang kembali. “Pintu saya hari
ini merupakan pintu kelapangan. Tak ada duanya.”
Bersabtu-sabtu
kemudian penjual pintu datang lagi, dengan lima buah pintu yang sama seolah tak
pernah laku. Dan Pak Rosid menolaknya lagi. Dengan wajah yang kucel penjual pintu
akan berterima kasih lagi, dan lagi. Begitulah setiap minggu dengan nama pintu
yang berbeda-beda, mulai dari pintu keabadian, kejayaan, kebaikan dan entah apa
lagi. Membuat Pak Rasid akhirnya kehilangan kesabaran.
“Ah,
banyak omong ! Bedebah kamu !”
“Tapi hari ini pintu saya benar-benar unik. Saya tak
pernah bohong. Pintu ini merupakan pintu keberuntungan !” penjual pintu tidak
bergeming.
Tiba-tiba Bu Rasid muncul, mendengar kegaduhan di depan
rumah. “Ada apa to Pak ?”
“Penjual pintu tidak waras ini yang selalu datang setiap
Sabtu selepas lohor !”
“Sudahlah. Beli satu saja, biar dia senang dan tak kesini
lagi. Bapak pula sih yang berlebihan. Toh, kamar di belakang itu tidak ada
pintunya.”
Pak Rasid berpikir sejenak, daripada penjual pintu ini
membuatku semakin gila.“Berapa yang satu itu ?”
“Khusus
untuk Bapak, yang ini lima ratus ribu.”
“Mahal amat !? Biasanya hanya dua ratus ribuan ? Ini
jelas bukan kayu jati !” protesnya sewot ketika memeriksa pintu itu.
“Sudah saya bilang, Pak Rasid. Ini pintu keberuntungan. Tapi
Bapak tidak usah khawatir. Jika Bapak beli satu pintu ini, saya kasih satu
pintu lagi, terserah Bapak yang model mana.”
“Saya tak butuh dua pintu. Kamu beri satu pintu saja,
tapi tiga ratus ribu. Itu sudah mahal untuk pintu dari kayu asal-asalan seperti
ini.”
“Tidak bisa, Pak. Saya maunya lima ratus ribu.”
Sudah dibeli masih ngotot, pikir Pak Rasid. “Ah, terserah.
Ini, lima ratus.”
“Terima kasih Pak Rasid,” penjual itu tampak senang
sekali menerima lima lembar uang seratusribuan. Ditaruhnya pintu besar itu di
teras. Setelah berterima kasih sekali lagi, orang itu pergi dan menghilang di
ujung jalan beraspal. Dalam hati Pak Rosid merasa lega.
***
Pak Rosid gembira sekali ketika memperoleh mobil baru,
hasil undian di bank tempat Bu Rasid menabung. Tak sabar dia menunggu mobil itu
dikirim dan tiba di rumahnya. Sambil duduk di teras pikirannya mengawang-awang,
barangkali mobilnya datang hari itu juga. Pak Rasid tersenyum-senyum sendiri membayangkan
dirinya mengemudikan sebuah mobil mewah dengan parlente.
“Bagaimana Pak ? Apakah pintu saya sudah mendatangkan
keberuntungan ?”
Pak Rasid terkaget ketika penjual pintu sudah ada di
depan rumahnya. Masak ini gara-gara pintunya itu, pikirnya.
“Karena pintu saya sudah terbukti, sekarang bapak saya
tawari pintu satu lagi. Pintu satu ini yang paling khas dari pintu-pintu saya
yang lain. Bisa mendatangkan kekayaan, karena ini pintu kekayaan. Harganya 750
ribu,” penjual pintu seperti tahu saja yang dialami Pak Rasid.
Pak Rasid berpikir. Apa benar? Tapi aku kan baru ketiban
mobil, tak apalah jika aku mengorbankan uang tujuhratusribuan demi menjajal
omongan tukang pintu ini.
“Saya mau, saya tawar 600 ribu tapi.”
“Baiklah, karena Bapak telah menjadi langganan saya
bolehlah 600 ribu. Saya taruh di teras bapak.”
Pak Rasid cemberut sambil menyerahkan uang 600 ribu.
Siapa yang jadi langganan, pikirnya. Penjual pintu itu pergi setelah berterima
kasih. Dan sorenya Pak Rasid langsung mengganti pintu depan rumahnya dengan
pintu yang baru.
Beberapa
bulan kemudian, beliau benar-benar senang. Peternakan ayamnya semakin maju. Ayam-ayamnya
yang gemuk dan sehat banyak dipesan oleh para pedagang ayam di pasar-pasar. Penghasilannya
meningkat drastis. Pak Rasid kini benar-benar yakin dengan omongan si penjual pintu.
Dan hari Sabtu ini, Pak Rasid menunggu-nunggu si penjual pintu. Dan ketika
orang dengan muka penuh kerutan itu lewat Pak Rasid tanpa ragu membeli satu
pintu lagi, bahkan sebelum penjual pintu menawarkannya. Pintu kesuksesan itu
harganya mahal, satu juta rupiah. Tapi toh, nanti hasilnya juga bakal berlipat
ganda.
Benar,
setelah pintu kesuksesan itu menggantikan pintu kayu usang di kamar Pak Rasid,
dirinya semakin sukses. Rejekinya semakin mengalir deras bak air terjun.
Sehingga Pak Rosid pun kini berani menjual peternakan ayamnya dan mendirikan sebuah
usaha baru, yakni dealer motor sebuah merek terkenal. Dealer ini pun ternyata juga
laris manis dan memiliki reputasi yang baik di kota. Tanpa ragu beliau akhirnya
membeli 2 pintu yang tersisa dari si penjual pintu. Pintu kelancaran dan pintu
kemujuran. Harganya masing-masing satu juta lima ratus ribu.
Awalnya semua berjalan dengan sangat baik. Sepeda motor
di dealernya seringkali kehabisan stok akibat kerap diburu pembeli, membuat Pak
Rasid menjadi orang kaya baru. Bahkan Pak Rasid hendak sekalian mendirikan dealer
mobil di situ. Tapi tiba-tiba hal buruk terjadi. Bulan ini penjualan motor menurun,
berikut reputasi dealer. Bulan-bulan kemudian dealernya bangkrut, tak laku
lagi. Banyak sepeda motor yang sudah usang menumpuk di dealer akibat tak pernah
diburu pelanggan lagi.
Sekarang
Pak Rasid yang malang harus mulai menjalani hidup yang penuh keterbatasan. Aneh
sekali. Padahal lima buah pintu yang ada di rumahnya sudah diganti dengan
pintu-pintu dari si penjual pintu. Seharusnya dia sudah menjadi konglomerat di
kota. Pikiran Pak Rasid yang semakin tertekan tertuju pada wajah penjual pintu.
Tiba-tiba dia mengumpat-umpat. Mengumpati setiap lekuk kerutan yang membentuk
tekstur di wajah penjual pintu. Bedebah dilantunkannya berulang-ulang. Tapi,
setelah pintunya habis terjual, penjual pintu tak pernah muncul lagi.
***
Akhir-akhir ini Pak Rasid sering bersungut-sungut duduk
di kursi teras menunggu barangkali penjual pintu lewat. Seperti siang ini. Matanya
terbelalak ketika mendengar suara berdecit roda-roda kecil yang menggelinding
di atas tanah. Dan tampaklah dari kejauhan, penjual pintu dengan gerobaknya
yang sudah terisi kembali dengan setumpuk pintu.
“Bedebah kamu! Pintu-pintumu itu ternyata palsu! Lihat
sekarang, semua usaha saya bangkrut! Harta saya habis! Sekarang kembalikan
semua uang yang sudah saya beri ke kamu itu!” kata Pak Rasid tanpa cas-cis-cus
lagi ketika penjual pintu tiba di depan rumah.
“Tunggu-tunggu, pasti ada yang salah Pak Rasid !”
belanya.
“Kemana pula kamu berbulan-bulan ini ? Mau menghindar
dari saya ?!”
“Saya membuat pintu, seperti biasa. Ini pintu-pintu saya.
Sangat ajaib tentunya, saya butuh berbulan-bulan membuatnya. Pak Rasid mau beli
?” jawabnya tak berdosa.
“Kamu
masih tawari saya pintu-pintu sialan kamu itu ?”
“Tenang Pak, saya tahu masalah Bapak. Saya ada solusi.
Pak Rasid sekarang harus mengganti semua gagang pintu milik Pak Rasid.”
Pak Rasid diam. Kata-kata itu seperti sihir sehingga Pak
Rasid tiba-tiba mempercayai si muka kusut kembali. Sorenya Pak Rasid mengganti
semua gagang pintu (yang sebenarnya masih cukup gres) dengan yang baru
dibelinya di toko bangunan milik seorang Cina. Dibelinya gagang yang paling
mahal.
Hari-hari
yang panas berlalu akan tetapi keadaan tak kunjung membaik. Bahkan hutang
semakin menumpuk disana-sini. Maklum, Pak Rasid kini tak punya usaha lagi,
termasuk peternakan ayam yang dulu mampu menopang kehidupannya walau dalam
kesederhanaan. Dan Beliau semakin murka, rasanya dia selalu kena tipu, seperti
yang terakhir kali. Sabtu ini, beliau menunggu lagi decitan roda-roda gerobak
penjual pintu.
“Kamu masih berani-beraninya tipu saya lagi ?” ancam Pak
Rasid kepada penjual pintu, bahkan sebelum tiba di rumahnya. Beliau langsung
berlari dan melabrak si penjaja pintu begitu batang hidungnya menyembul di
ujung jalan. “ Saya sudah ganti semua gagang pintu tapi hasilnya nihil. Malah
semakin memburuk !”
“Wah, masak Pak ?” jawab penjual pintu masih dengan
tampangnya yang tak berdosa.
“Ah, cukup, cukup ! Saya hajar kamu !” Pak Rasid meraih
kerah si penjual pintu.
“Sabar Pak, sabar. Pak Rasid lupa. Masih ada satu lagi gagang
pintu yang Pak Rasid belum ganti.”
Pak Rasid perlahan-lahan mengingat sesuatu, sebuah cerita,
kisah seorang nabi muda, nabi yang sebelumnya nyaris disembelih oleh ayahnya
sendiri. Dilepaskannya kerah si penjual pintu. Berangsur-angsur marahnya redam.
Tenang. Kemudian tercenung.
Dia
tak akan mungkin menggantinya.
***
Silakan kritik dan saran.